ANTESEDEN 'MEREKA' DALAM YOH. 21:15 (Penerapan Penafsiran Gramatikal) Oleh: Edy Siswoko


Anteseden “mereka” dalam Yoh. 21:15
(Penerapan Penafsiran Gramatikal)
Oleh: Edy Siswoko
Dosen Musik Gereja, Hermeneutika

Yohanes 21:15 "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?"

Siapakah atau apakah anteseden “mereka” dalam ayat tersebut?

Anteseden adalah orang atau benda yang ditunjuk oleh kata ganti. Contohnya:
Titus 1:5  “Aku telah meninggalkan engkau ...”
Anteseden  ‘aku’  adalah Paulus
Anteseden  ‘engkau’  adalah Titus

Titus 1:6  “... yang anak-anaknya hidup beriman ...”
Anteseden  ‘nya’  adalah para calon penatua

Anteseden dalam kedua kalimat tersebut dapat segera kita ketahui, berbeda dengan anteseden ‘mereka’ dalam Yohanes 21:15. Kata ganti orang (pronomina persona) “mereka” dalam Yohanes 21:15 dapat menunjuk pada orang-orang atau benda-benda. Alasannya: 
Pertama, saat Yesus bertanya demikian kepada Simon, ada murid-murid Yesus yang lain serta ada juga beberapa peralatan nelayan serta ikan-ikan hasil tangkapan Petrus dan murid-murid.
Kedua, “mereka ini” dalam bahasa Yunani  τουτον” atau touton adalah sebagai genitive yang bisa berjenis maskulin ataupun netral. Berdasarkan keadaan ini maka anteseden “mereka” bisa menunjuk pada murid-murid yang lain, dan bisa juga menunjuk pada ikan-ikan dan perlengkapan nelayan. Sebagian penafsir lebih memilih anteseden “mereka” menunjuk pada ikan-ikan dan peralatan nelayan (Sutanto: 75). Dalam kasus ini penyelidikan tata bahasa asli/Yunani tidak memadai dan malah menimbulkan banyak pertentangan.

Sebelumnya kita harus ingat tahapan Hermeneutik meliputi: observasi, interpretasi, dan aplikasi (pengamatan, penafsiran, dan penerapan). Tahap observasi sangat penting namun sering diabaikan. Padahal, benar tidaknya interpretasi kita tergantung dari apakah kita melakukan observasi dengan benar. Tahap observasi itu sendiri meliputi: pengamatan bentuk sastra, pengamatan suasana teks, pengamatan fakta, tata bahasa, serta gaya bahasa yang terdapat dalam teks yang kita teliti. Saat kita mengamati tata bahasa suatu teks, kita mengidentifikasi fungsi kata dan kalimat yang membentuk teks tersebut: mana induk dan anak kalimat, mana subyek, predikat, obyek, keterangan, ungkapan, kalimat utama, kalimat penjelas, dan anteseden. Selain tata bahasa, juga terdapat pengamatan gaya bahasa, dimana kita mengamati dan mengidentifikasi gaya atau corak apakah yang dibentuk oleh kata dan kalimat tersebut: apakah kontras, perbandingan, pengulangan, sebab-akibat, tanya-jawab, maksud dan tujuan, klimaks atau antiklimaks, pendahuluan atau kesimpulan, kelanjutan, pertukaran, peningkatan pikiran, dan sebagainya.

Memang, bila kita perhatikan konteksnya, pertanyaan dalam Yoh. 21:15 itu diajukan Yesus setelah Simon dan murid-murid menjala ikan lagi, padahal mereka sudah dipanggil Yesus dari pekerjaan itu, sehingga anteseden “mereka” mungkin saja menunjuk pada ikan-ikan hasil tangkapan Petrus, perahu dan perlengkapan nelayan miliknya (inilah penafsiran kontekstual). Tetapi kembali kita harus ingat bahwa bila memungkinkan  maka kita harus menerapkan seluruh prinsip penafsiran (kontekstual; literal; gramatikal; historikal; teologikal; maksud penulis dan prinsip penafsiran khusus berdasarkan bentuk sastra), tidak hanya satu prinsip penafsiran, misalnya kontekstual saja. Untuk Yoh. 21:15 dan ayat berikutnya, kita dapat menerapkan penafsiran gramatikal (penafsiran berdasarkan tata bahasa dan gaya bahasa). Sebab dalam tahap observasi Yohanes 21:15 dan ayat-ayat berikutnya, semestinya sudah kita identifikasi hukum struktur penting yang terdapat dalam teks tersebut, yaitu tanya-jawab.

Jadi, mengapa kita hanya memperhatikan pertanyaannya? Janganlah kita membuat kesalahan dengan hanya fokus pada satu bagian saja, yaitu menafsirkan pertanyaannya saja. Sebab dalam teks ini ada hukum struktur pertanyaan & jawaban, sehingga kita tidak boleh hanya memperhatikan pertanyaannya lalu mengabaikan jawabannya, kita tidak boleh hanya memperhatikan sang penanya lalu mengabaikan sang pemberi jawaban.

Dari jawaban Simon kita bisa mengetahui apa yang dimaksud Yesus dengan “mereka.” Ada 4 hal penting dalam jawaban Simon Petrus yang dapat dipertimbangkan untuk mengungkap apa atau siapa anteseden “mereka.”

1.  Simon sengaja menghilangkan frase “lebih daripada mereka ini.”
Yesus bertanya: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?" Petrus menjawab, “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau."  

Padahal kalau memperhatikan pertanyaan Yesus bukankah seharusnya jawaban Simon adalah: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau lebih daripada mereka ini." 

Ada frase yang sengaja ‘dihilangkan’ oleh Simon yaitu “lebih daripada mereka ini. Penghilangan frase ini mempunyai arti bahwa Simon sangat paham maksud pertanyaan Tuhan Yesus, ia paham apa atau siapa yang dimaksud Tuhan Yesus dengan “lebih daripada mereka ini” sehingga ia memang sengaja tidak menyertakan frase “lebih daripada mereka ini” dalam jawabannya.

Seandainya yang dimaksud Yesus “lebih daripada mereka ini” adalah ikan-ikan serta perlengkapan nelayan, maka pasti Simon akan menjawab, “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau lebih daripada mereka ini." 
Tetapi Simon tahu bahwa yang dimaksud Yesus “lebih daripada mereka ini” adalah murid-murid yang lain yang waktu itu ada di dekat mereka dan juga mendengarkan tanya-jawab tersebut. Sehingga Simon Petrus sengaja menghilangkan frase “lebih daripada mereka ini” dalam jawabannya.  

Penafsiran ini sesuai dengan konteks yang lain, yaitu semalam sebelum penyaliban Yesus, Simon menyombongkan diri bahwa ia setia pada Yesus “lebih daripada murid-murid yang lain” (Mat. 26:33 Versi TB, "Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak."  Versi BIS, "Biar semua yang lainnya meninggalkan Bapak, saya sekali-kali tidak!").
Ironisnya, setelah melontarkan perkataan yang melebihkan dirinya di atas murid-murid yang lain, Simon malahan menyangkal Tuhan, sehingga nyata di hadapan murid-murid lain bahwa ucapan Simon Petrus itu tak terbukti.

Jelas bahwa “mereka” yang dimaksud Yesus bukanlah “ikan-ikan dan peralatan nelayan” tetapi “murid-murid yang lain.” Jadi pertanyaan ini bukan bertujuan untuk membandingkan Simon dengan murid-murid yang lain, tetapi melalui pertanyaan ini Yesus menguji Simon, apakah setelah peristiwa penyangkalan tersebut Simon masih tinggi hati, masih menyombongkan diri dan merasa dirinya lebih daripada murid-murid yang lain? Yohanes sang penulis kitab ini serta murid-murid yang lain pasti tahu arah pertanyaan Yesus, apalagi Simon. Simon sengaja menghilangkan frase “lebih daripada mereka ini, ini menunjukkan Simon kini lebih rendah hati, ia menyadari kesalahannya, ia tidak lagi menyombongkan diri dan menganggap diri lebih dari murid-murid yang lain.

2.  Simon menjawab bahwa “Engkau tahu
Tuhan menanyakan apakah Simon mengasihi-Nya lebih dari murid-murid-Nya yang lain. Namun Simon menjawab bahwa Tuhan tahu. Kita kembali pada malam sebelum Yesus ditangkap, sesudah Simon menyombongkan diri di hadapan Yesus serta murid-murid lain bahwa ia tak akan meninggalkan Yesus sekalipun murid-murid yang lain meninggalkan, Yesus berkata bahwa Petrus akan menyangkali-Nya. Dan nubuat Yesus itu benar terjadi. Inilah yang dimaksudkan Simon dalam jawabannya, Engkau tahu.Petrus kini sadar Yesus tahu bagaimana isi hati Petrus dan ia sadar tak perlu mengobral janji-janji manis pada Yesus, tak perlu meninggikan diri di depan murid-murid lain, karena Yesus tahu. Tahu apa? Tahu bahwa kasih Petrus tidak sempurna. Penjelasan ada di poin ke-3.

3.  Simon tidak berani menjawab dengan “agapao” tapi menggantinya dengan “phileo.”
Kata kasih yang dipakai Yesus pada 2x pertanyaan-Nya adalah “agapao” yang menunjuk kasih yang sempurna, kasih yang paling tinggi dan paling mulia, kasih yang tanpa pamrih. Sedang kata kasih dalam semua jawaban Simon (3x) adalah “phileo,” yang menunjuk kasih yang lebih rendah dari agapao, masih mengharapkan pamrih atau balasan dari obyek kasihnya, kasih ini tidak sempurna dibanding kasih agape.
Jadi, dalam Yoh. 21:15, ketika Yesus bertanya, "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?" maksudnya adalah, Tuhan menanyakan apakah Simon mengasihi-Nya dengan sempurna lebih dari murid-murid-Nya yang lain. Petrus menjawab, “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau"  maksud jawaban Petrus adalah Tuhan tahu bahwa ia mengasihi Tuhan namun kasihnya tidak sempurna.

Peristiwa peninggian diri Petrus di hadapan murid-murid lain yang segera diikuti dengan penyangkalan Petrus, tak hanya membuat murid-murid lain tahu bahwa kasih Petrus tak sempurna, tapi yang terpenting adalah kisah itu membuat Petrus sadar bahwa kasihnya tak sempurna. Dan seperti ia meninggikan diri di hadapan murid-murid lain, sekarang ia juga mengakui ketidaksempurnaannya atau kelemahannya di hadapan mereka. 

Mungkin ada pertanyaan yang timbul: mengapa Yesus harus menguji Petrus di hadapan murid-murid lainnya? Bukankah Yesus mahatahu dan Dia tahu isi hati Petrus tanpa perlu mengujinya di hadapan murid-murid? Yesus hendak menjadikan Petrus pemimpin rasul-rasul, namun ia berbuat kesalahan di depan murid-murid yang lain, sombong, menganggap diri lebih dari murid yang lain, padahal seorang pemimpin gembala haruslah melayani dengan rendah hati, bukan dengan kesombongan atau meninggi-ninggikan diri atas orang-orang yang dipimpinnya, maka sekarang di depan murid-murid jugalah ia harus mengakui dan memperbaiki kesalahannya. Kesalahan pemimpin yang diperbuat di depan umum harus juga diakuinya di depan umum. Hanya dengan begitu kepemimpinan Petrus terhadap murid-murid yang lain dapat dipulihkan.

4. Yesus berkata, "Gembalakanlah domba-domba-Ku." Ini berarti kepemimpinan Petrus dipulihkan, sebab Yesus mempercayakan domba-domba-Nya kepada Petrus. Dan jawaban Yesus "gembalakanlah domba-domba-Ku" ini adalah bukti ke-4 yang menguatkan penafsiran bahwa kata “mereka” menunjuk pada “domba-domba-Nya” atau murid-murid Yesus.


BEBERAPA PRINSIP penafsiran GRAMATIKAL:

a)  Kita harus memastikan dulu bahwa teks atau bagian yang hendak diselidiki adalah sebuah kalimat utuh yang tidak terputus atau tidak selesai. Dalam 1 ayat bisa saja ada 2 kalimat, contohnya Kejadian 13:13. Bisa juga sebaliknya yaitu 1 kalimat mencakup 2 ayat atau lebih, contohnya Matius 2:1-2.  Hal-hal itu tidak masalah yang penting kalimatnya utuh.

b)  Penafsir juga dapat menerjemahkan ulang teks yang diselidiki berdasarkan gramatika bahasa aslinya untuk mendapat gambaran dan pemahaman yang lebih konkret atau jelas terhadap teks tersebut. Contohnya: 

Contoh pertama, dalam Yohanes 21:15 yang telah kita kupas di atas dapat diterjemahkan ulang sebagai berikut:

"Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku (dengan kasih yang sempurna) lebih dari pada mereka ini (murid-murid-Ku yang lain ini)?" Petrus menjawab, “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau (dengan kasih yang tidak sempurna)."  

Contoh kedua, dalam Yohanes 6:64 “Tetapi di antaramu ada yang tidak percaya. Sebab Yesus tahu dari semula, siapa yang tidak percaya dan siapa yang akan menyerahkan Dia.”

Dalam bahasa Yunaninya “yang tidak percaya” berbentuk plural atau jamak (lebih dari satu) sedangkan “yang akan menyerahkan Dia” berbentuk singular atau tunggal. Sehingga teks tersebut dapat diterjemahkan ulang sebagai berikut:

“Tetapi di antaramu ada orang-orang yang tidak percaya. Sebab Yesus tahu dari semula, siapa orang-orang yang tidak percaya dan siapa orang yang akan menyerahkan Dia.”

Dari sini kita bisa menafsirkan bahwa ada banyak orang yang tidak percaya pada Yesus namun yang akan menyerahkan atau mengkhianati-Nya hanyalah 1 orang saja. 

c)   Dalam menafsirkan bagian-bagian dan fungsi-fungsi kata seperti subyek, kata kerja, kata keterangan, anteseden, ungkapan, dan sebagainya, kita tetap harus memperhatikan prinsip penafsiran kontekstual (konteks dekat dan konteks jauh dari teks yang diteliti). Contohnya dalam menafsirkan anteseden “mereka” dalam Yoh. 21:15 di atas, penafsiran berdasarkan konteks dekat yakni ketika murid-murid menjala ikan ternyata masih meragukan, tetapi ketika kita melihat konteks sebelum penyaliban, kita mendapat jawaban yang benar. Untuk penjelasan mengenai penafsiran kontekstual selengkapnya serta contoh-contoh lainnya bisa dilihat kembali diktat hermeneutik.

d)  Tafsirkan berdasarkan hukum-hukum struktur yang dipakai oleh penulis. Pada kasus Petrus di atas kita sudah merasakan pentingnya observasi struktur gaya bahasa. Pada tahap observasi, kita  seharusnya sudah menemukan hukum struktur apa yang membentuk teks. Sehingga pada tahap interpretasi kita tinggal menafsirkannya sesuai data yang telah didapat. Contohnya:

Pada observasi gaya bahasa terhadap 1 Korintus 13 kita telah menemukan hukum struktur pengulangan, yakni: “sekalipun aku ... (punya berbagai karunia rohani) tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku ... (tidak berguna)” 
Pengulangan ini terjadi 3 kali pada ayat 1, 2 dan 3. 

Selain itu juga terdapat hukum struktur ringkasan yang terdapat pada akhir pasal yakni pada ayat 13, bunyinya: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.

Dengan adanya hukum struktur pengulangan dan dikuatkan oleh hukum struktur ringkasan ini maka ide pokok yang ditekankan penulis surat adalah kasih merupakan karunia terbesar. Penafsiran selanjutnya harus berpusat pada IDE POKOK ini. Paulus menunjukkan bahwa kasih lebih besar dari karunia bahasa Roh, karunia bernubuat, karunia pengetahuan, karunia melakukan mujizat, kasih lebih besar dari segala persembahan atau korban-korban, sehingga ada tiga hal yang harus tetap dilakukan: beriman, berharap dan saling mengasihi, namun hal paling penting yang harus dilakukan adalah saling mengasihi.  

WISUDA STAJ XXXII Thn. 2014: "QUO VADIS DOMINE" Oleh: Dr. Sonny Ely Zaluchu


MENGIKUTI PANGGILAN SEBAGAI TALMIDIM KRISTUS

Dalam wisuda STAJ ke-32, tampil Dr. Sonny Eli Zaluchu membawakan orasi ilmiah. Dosen, gembala dan penulis yang sudah menulis 9 buku sekaligus dosen S2 di STAJ ini mengusung topik orasi: “Quo Vadis Domine” (kemanakah engkau pergi). Beliau mengatakan, dalam satu sisi wisudawan-wisudawati sudah menyelesaikan masa belajar, tapi wisuda ini adalah awal menjadi Talmidim (murid) Kristus yang dipanggil untuk diutus dan memikul salib di tengah dunia yang gelap ini. Wisuda ini bukan akhir tapi babak baru yang akan dimasuki mereka. Talmidim semula dikenakan kepada 12 murid Yesus yang dipanggil-Nya untuk mengikuti Dia. Tapi seiring dengan kekristenan yang berkembang melampaui batas-batas negara, politik, suku bangsa, dan budaya, maka kita pengikut Kristus juga disebut talmidim atau murid karena kita juga melalui suatu fase yang disebut panggilan. 

Sebagai jawaban atas pertanyaan “Quo Vadis Domine” yaitu, talmidim Kristus harus pergi mengikuti panggilan Kristus. Kata “mengikuti” bermakna berjalan di belakang Yesus, bukan di depan Yesus. Maka bila kita mengikuti panggilan Kristus, dibutuhkan kepatuhan dan kesetiaan kepada Tuhan, bukan pada materi atau hal lain. Kalau kita lebih memilih materi untuk diikuti (seperti pemuda kaya dalam Mat. 19:22), maka kita tak bisa mengikuti panggilan-Nya. Seorang penulis, Os Guinness menulis dalam bukunya “Rising To The Call” bahwa definisi panggilan adalah kebenaran bahwa Allah memanggil kita kepada diri-Nya sehingga seluruh keberadaan kita, segala yang kita lakukan, dan segala yang kita miliki, semuanya kita persembahkan dan kita abdikan kepada-Nya. Jika nyatanya keberadaan kita, segala yang kita lakukan, dan segala yang kita miliki, tidak kita persembahkan dan tidak kita abdikan kepada-Nya, maka patut dipertanyakan apakah benar bahwa kita telah mengikuti panggilan-Nya?


MELAKSANAKAN TANGGUNG JAWAB SEBAGAI TALMIDIM KRISTUS

Talmidim adalah konsep Ibrani yang sangat khas mengenai pemuridan (discipleship). Disebut khas karena tidak semata bicara kedudukan sebagai murid tapi ada tuntutan tanggung jawab yang besar, baik secara moral dan perilaku sehari-hari, sehingga seseorang dikenali sebagai talmidim Kristus yang sejati, bukan yang palsu. Jadi sebagai jawaban atas pertanyaan “Quo Vadis Domine” yaitu bahwa talmidim Kristus harus pergi melaksanakan tanggung jawabnya. Tanggung jawab itu menuntut kita untuk mengarahkan kepentingan hidup kita untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan Tuhan. Bukan tujuan dan keinginan kita yang berkuasa, tapi keinginan kita harus kita arahkan agar selaras dengan kehendak-Nya. 

Talmidim Kristus bertanggung jawab memikul salib, seperti yang Paulus katakan dalam Galatia 2:20: “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” Dalam terjemahan lain tertulis "i have been crucified with Christ” (aku telah disalibkan bersama Kristus). Bentuk waktu “perfect” dalam kalimat tersebut menekankan bahwa murid Kristus harus selalu siap menderita, menyangkal diri, sebab dalam diri kita ada identitas Kristus. Ini adalah makna terdalam dari sebuah panggilan. Banyak murid gagal karena tidak tahan menderita dan menyangkal diri. Sebab, memberitakan Injil memang bukan untuk mencapai sasaran kesenangan duniawi, sehingga tak semua orang bisa memenuhi panggilannya dengan baik. Dr. Bobby Clinton dari Fuller Theological Seminary menuliskan bahwa dari 100 pemimpin di Alkitab yang mengemban amanat dari Allah, hanya 49 orang yang benar-benar tuntas menunaikan panggilannya, sedang yang lain gagal karena terpikat kesenangan duniawi, gagal karena dosa, gagal karena lari dari panggilan, dan sebagainya. 

Sebelum Kristus disalibkan, Petrus bertanya pada Tuhan Yesus “Quo Vadis Domine?” Saat itu Yesus menjawab: "Ke tempat Aku pergi, engkau tidak dapat mengikuti Aku sekarang, tetapi kelak engkau akan mengikuti Aku." Saat itu Yesus akan pergi untuk disalib, dan saat itu belum saatnya bagi Petrus untuk mengikuti Yesus. Namun suatu kali ketika orang Kristen di Roma dianiaya dan Petrus hendak melarikan diri dari kota Roma, Yesus menampakkan diri kepada Petrus dan Petrus bertanya kepada-Nya “Quo Vadis Domine?” Dalam penglihatan itu Tuhan Yesus menjawab: “Romam vado iterum crucifigi” (artinya: Aku pergi ke Roma untuk disalibkan kembali). Begitu mendengar jawaban tersebut, Petrus langsung kembali ke Roma dan di sana ia ditangkap lalu disalibkan.

“Quo Vadis Domine” adalah pertanyaan yang patut kita renungkan bersama: siapkah kita mengambil keputusan mengikut Kristus secara total atau menyerah ketika cobaan datang? 

WISUDA STAJ XXXII Thn. 2014: "MENJADI MURID KRISTUS SEJATI" Oleh: Pdt. Samuel Jianto


PROGRAM VISIONER
Selama ini ada banyak kesalahpahaman tentang Teologi. Teologi adalah pengetahuan tentang Allah, sehingga tak hanya pendeta yang berteologi, namun juga ibu-ibu rumah tangga yang menceritakan kasih Allah pada anaknya maka ia sedang berteologi, anak sekolah Minggu yang menceritakan Yesus pada temannya juga disebut berteologi. Siapapun yang menceritakan Allah pada orang lain bisa disebut berteologi. Sehingga, dengan belajar teologi kita akan dapat menceritakan tentang Allah dengan lebih baik kepada orang lain. 
Kalau kita cermati, saat ini seiring pesatnya perkembangan teknologi di segala bidang, maka pendidikan semakin maju sehingga makin banyak orang yang terdidik dan lulus S1. Kemajuan pendidikan yang mendorong makin banyaknya golongan intelektual tersebut merupakan tantangan bagi GPdI. Bila kita ingin menjangkau golongan intelektual tersebut dan memenangkan mereka bagi Kristus maka GPdI harus mempunyai SDM yang berkompeten. Karena itulah MD GPdI Jatim dipimpin Pdt. Samu: el Jianto gencar melaksanakan program visioner yakni upgrading (peningkatan) pengetahuan para gembala. Selain itu, upgrading bisa dilakukan melalui Sekolah Tinggi Teologi binaan GPdI. MD GPdI Jatim di bawah pimpinan Pdt. Samuel Jianto menyadari pentingnya hal ini sehingga beliau mendukung keberadaan Sekolah Tinggi Teologi, termasuk STA Jember.


SEORANG VISIONER
Seorang visioner ialah orang yang mempunyai wawasan ke depan yang tajam, yaitu mampu membaca kondisi dan tuntutan pelayanan di masa depan, lalu melakukan tindakan yang diperlukan untuk menyiapkan dirinya atau organisasinya atau orang-orang yang dipimpinnya agar siap menghadapi masa depan tersebut. Rupanya, kondisi perkembangan pendidikan yang pesat dan tuntutan pelayanan yang makin kompleks sehingga pelayan Tuhan yang berpendidikan  tinggi makin lama makin dibutuhkan ini telah dilihat jauh-jauh hari oleh seorang visioner dari GPdI, yakni mendiang Pdt. Dr. EN. Soriton Ed.D., sehingga tahun 1985 beliau mendirikan lembaga pendidikan teologi (JBC) yang kini bernama STA Jember. 
Sebagai seorang visioner, beliau kukuh melaksanakan visi tersebut meski banjir tantangan selalu menerpa beliau dalam pendirian sekolah teologi ini. Untuk meneruskan visi tersebut, STA Jember (STAJ) yang saat ini dipimpin Pdt. Dr. Doni Heryanto terus menyiapkan diri menghadapi tantangan masa depan sehingga saat ini STAJ telah dinyatakan TERAKREDITASI BANPT. STAJ juga mendapatkan izin penyelenggaraan Magister Teologi (M.Th). Selain itu STAJ juga mendapat izin membuka Prodi baru yaitu Prodi PAK (S.Pak) untuk memenuhi kebutuhan akan guru agama Kristen di sekolah-sekolah.

Pada 27 Agustus lalu STAJ mengadakan wisuda Sarjana Teologi yang ke-32. Wisuda bertempat di GPdI Ekklesia yang digembalakan Ibu Pdt. Lies Soriton tersebut mengambil tema “Menjadi Murid Kristus Sejati.”Pendalaman tema ini disampaikan Pdt. Samuel Jianto dengan menguraikan Lukas 9:18-27.


CIRI-CIRI MURID SEJATI

1.    Memiliki Pengenalan yang Benar tentang Kristus (Luk. 9:18-21; Flp. 3:10)
Untuk mengenal Kristus tidak dalam waktu sekejap tapi butuh proses, sebab seperti yang dikatakan dalam Roma 10:1-3, banyak orang Kristen bahkan di kalangan GPdI sendiri yang menggebu-nggebu melayani Allah tetapi tanpa pengetahuan yang benar. Karena itu perlu belajar, menurut Om Sam, tidak ada orang yang terlalu tua untuk belajar, bagi beliau hanya kematian yang membuat orang berhenti belajar. Definisi murid ialah orang yang sedang belajar atau berusaha memperoleh ilmu dengan cara melatih diri dan bertindak sedemikian rupa. Kita menjadi murid Kristus sepanjang hidup kita dan bukan sesaat saja dalam hidup ini, itu artinya sebagai murid Kristus kita dituntut untuk berusaha belajar dan memperoleh ilmu secara terus-menerus sepanjang hidup kita.

2.    Memikul Salib Setiap Hari (Luk. 9:22-23)
Memikul salibnya setiap hari artinya mau menerima segala tanggung jawab dan penderitaan sebagai dampak menjadi murid Kristus. Salib adalah identitas seorang murid Kristus. Tanda seseorang murid Kristus ialah jika ia menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya dan mau hidup dipimpin Roh-Nya (Gal. 5:24-25), jika ia tidak mau menyalibkan hawa nafsunya maka hal itu juga tanda bahwa ia bukan murid sejati melainkan murid palsu.

3.    Prioritas Utama Hidupnya adalah Kristus (Luk. 9:24-25; Kis. 20:24)
Pada para wisudawan Om Sam menasihatkan bahwa Yesus adalah harga mati. Kita boleh kehilangan gelar, harta, cita-cita, keinginan, pasangan, kedudukan, jabatan, bahkan nyawa, asalkan jangan kehilangan prioritas pada Yesus, sebab memiliki segala-galanya tanpa Yesus tak ada gunanya. Jangan memberi prioritas pada gelar, harta benda, cita-cita, keinginan, dsb, tetapi prioritaskan Tuhan.


CIRI-CIRI MURID PALSU

1.    Duniawi (Luk. 9:23)
Pada waktu itu murid-murid Yesus tidak mengetahui bahwa Yesus akan mati di salib. Pikiran murid-murid masih duniawi, mereka berpikir menjadi murid Yesus berarti kesempatan untuk menjadi besar dan berkuasa (Luk. 22:24). Tapi melalui ayat ini Tuhan memperingatkan mereka agar menyadari harga menjadi murid-Nya, yaitu mempunyai motivasi pelayanan yang benar, tidak mengejar uang, keinginan, dan agenda-agenda pribadi.

2.    Malu/Tidak Mau Mengakui Yesus (Luk. 9:26)
Dalam pelayanan kita akan berhadapan dengan situasi dimana nyawa kita dan keluarga kita atau reputasi, nama baik, dan pekerjaan kita terancam karena kita menjadi murid Yesus. Murid palsu akan memilih menyelamatkan dirinya dan menyangkal Yesus. 

ALLAH MENJAMIN KETERSEDIAAN PEMIMPIN. Oleh: Dr. Dony Heryanto


Kehadiran seorang pemimpin yang baik dalam tiap area kehidupan amat dibutuhkan. Contohnya keluarga membutuhkan seorang kepala keluarga yang baik, sebuah desa membutuhkan kepala desa yang baik, dalam lingkungan yang lebih besar yaitu negara membutuhkan pemimpin atau presiden yang baik. Demikian juga dalam kehidupan jemaat-Nya, gereja membutuhkan seorang pemimpin yang baik seperti yang dikehendaki Tuhan. Kalau kita ingat Efesus 4:11-14 maka Allah sendirilah yang memberikan pemimpin-pemimpin: sebagian diangkat-Nya menjadi rasul; yang lain menjadi nabi; yang lain lagi menjadi penginjil, yang lain diangkat-Nya menjadi gembala atau pemelihara jemaat, dan yang lain menjadi pengajar atau guru.Karena Allah sendiri yang menjamin ketersediaan pemimpin bagi jemaat-Nya, maka bila suatu ketika gembala meninggal dunia atau hal lainnya, maka jemaat yang ditinggalkan tidak perlu kuatir. 

Pergantian pemimpin atau suksesi merupakan topik yang kontekstual dan menyentuh kebutuhan lokal yakni menguatkan jemaat yang ditinggalkan namun juga bersifat global. Disebut global karena mempunyai aspek kontinuitas, universalitas, dan fungsionalitas. Dari aspek kontinuitas, suksesi (pergantian pemimpin)  akan terus terjadi; dari aspek universalitas peristiwa pergantian kepemimpinan ada di mana-mana di berbagai lembaga dan organisasi; serta dari aspek fungsionalitas pesan-pesan yang disampaikan tak hanya menghibur dan menguatkan keluarga dan jemaat lokal namun juga dapat diaplikasikan dalam suksesi di jemaat-jemaat lain di berbagai tempat.


ALASAN ALLAH MENJAMIN KETERSEDIAAN PEMIMPIN
Mengapa Allah menjamin ketersediaan pemimpin bagi umat-Nya? Karena domba-domba-Nya butuh pemimpin. “Apa jadinya jemaat tanpa pemimpin?” Ketika Tuhan Yesus ditangkap, murid-murid tercerai-berai seperti kawanan domba yang tidak bergembala. Karena itu agar jemaat-Nya tidak tercerai-berai, Allah terus menjamin ketersediaan pemimpin. Selain agar jemaat-Nya tidak tercerai-berai, dalam Efesus 4:11-14 dikatakan bahwa Allah terus menjamin ketersediaan pemimpin untuk memperlengkapi jemaat sehingga jemaat dapat melayani Tuhan dan membangun Tubuh-Nya; jemaat menjadi orang-orang dewasa yang makin bertambah sempurna seperti Kristus; sehingga jemaat-Nya tidak menjadi anak-anak lagi yang terombang-ambing oleh pengajaran sesat.


CARA ALLAH MENJAMIN KETERSEDIAAN PEMIMPIN
Suksesi butuh suksesor (pengganti). Contohnya saat Musa mati. Kematian Musa adalah kehilangan yang besar bagi bangsa Israel, sehingga bangsa Israel meratapi Musa selama 30 hari. Mereka sangat sedih, mereka butuh suksesor, dan Allah menjamin kelangsungan kepemimpinan dengan menyediakan pengganti yaitu Yosua. Melalui kisah suksesi dari Musa kepada Yosua, kita mengetahui cara kerja Allah dalam menjamin ketersediaan kepemimpinan bagi umat-Nya.

A.  Allah memilih pemimpin dengan perantaraan hamba-hamba-Nya (Bil. 27:18-23)
Yosua dipilih dan ditetapkan oleh Allah sendiri, jadi bagaimanapun kita ingin suatu kedudukan tapi kalau Tuhan tidak memilih kita maka hal itu akan sulit. Dan yang lebih penting bahwa pemilihan dan penetapan Yosua sebagai pemimpin adalah dengan perantaraan Musa. Jadi, Tuhan memakai hamba-Nya dan juga organisasi yang notabene perkumpulan hamba-hamba Tuhan untuk mengerjakan kehendak-Nya tersebut. Kita boleh punya argumentasi dan pendapat berbeda, namun kalau seorang pemimpin sudah ditetapkan dan dilantik maka kita harus menerima bahwa pemimpin itu ditetapkan oleh Tuhan. Kalau kita percaya bahwa GPdI adalah gereja yang diurapi dan dipimpin Roh Kudus maka kita harus percaya bahwa suksesor atau terpilihnya pemimpin pengganti adalah ketentuan Tuhan. Maka kita semua hendaknya menerima ketetapan tersebut dengan mendukung sepenuh hati. Kalau kita menolak pemimpin yang diangkat oleh Tuhan sama saja kita menolak Tuhan.

B.  Allah memilih pemimpin yang merupakan saksi atas perbuatan-Nya pada umat-Nya
Yosua adalah saksi keluarnya bangsa Israel dari Mesir dengan tanda-tanda ajaib seperti 10 tulah yang ditimpakan kepada bangsa Mesir serta saksi dari semua peristiwa yang menimpa umat Israel di padang gurun selama 40 tahun. Penting sekali bagi seorang pemimpin untuk hidup bersama-sama umat yang akan dipimpinnya, bersama-sama melihat perbuatan dan pimpinan Tuhan atas umat itu,  seperti Yosua. Itu sebabnya kalau gembala meninggal maka terutama istrilah yang melanjutkan kepemimpinan karena telah bersama-sama dengan suami, telah menyaksikan bagaimana pekerjaan Tuhan di tempat tersebut dimulai dan dibangun.

C.   Allah memilih pemimpin yang sudah siap
Yosua menjadi asisten Musa selama 40 tahun sejak ia muda dan belajar kepada Musa bagaimana memimpin suatu bangsa. Sehingga secara administrasi (tata kelola kepemimpinan) Yosua sudah siap, Yosua tahu apa pekerjaannya dan telah terlatih, karena itu setelah tiba peralihan kepemimpinan dari Musa ke Yosua, peralihan itu berlangsung “smooth” (baik dan lancar). Sebaliknya kalau pemimpin tidak dipersiapkan lebih dulu maka ia tidak akan tahu apa yang harus ia kerjakan dalam memimpin. Begitulah cara kerja Allah kita, Dia Allah yang teratur dan terencana, maka kita harus meneladani-Nya. Gereja dan organisasi harus mempersiapkan pemimpin-pemimpinnya dengan baik.

D.  Allah memilih pemimpin yang punya iman yang teguh.
Yosua memiliki iman yang teguh. Ia yakin apapun tantangannya, bangsa Israel pasti mampu menaklukkan bangsa Kanaan dengan pertolongan Tuhan. Ketika 10 pengintai melihat tantangan yang besar dan ingin menyerah,  tetapi Yosua dan Kaleb tidak. Iman yang teguh itu yang dibutuhkan seorang pemimpin. Pemimpin harus punya keyakinan, jangan ragu dan bimbang (Yos. 1:7-8).

Memimpin jemaat untuk hidup sesuai kehendak Allah dan mengalami seluruh keberkatan Allah adalah tanggung jawab yang mulia. Maka dimanapun kita melayani kita harus yakin seperti Yosua, yang menghadapi tantangan hebat namun punya iman yang lebih hebat. Bersama Tuhan, tantangan yang besar akan menjadi great adventure atau petualangan yang luar biasa. Seperti Tuhan menyertai Musa dan Yosua demikian pula Tuhan akan menyertai kita. Memang kita tidak menaklukkan bangsa-bangsa, tapi kita  menaklukkan tantangan, persoalan, penganiayaan, orang-orang sukar, dan bersama Tuhan kita mengalami kemenangan. 


PENDAFTARAN S2

  Pendaftaran Mahasiswa Baru, Program Pascasarjana, Program Studi Magister Teologi (M.Th) STA Jember 👍🤝 Pendaftaran dibuka setiap waktu 📍...