SIAPAKAH
YANG MEMIMPIN GEREJA?
Oleh:
Pdt. Dr. Doni Heryanto, M.Th.
ISU PENTING KEPEMIMPINAN GEREJA
Salah satu isu penting dalam kepemimpinan gereja adalah, “Siapakah yang memimpin gereja?” Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa Tuhan Yesus adalah kepala gereja, namun kenyataannya, ada gereja yang tidak hidup dalam pimpinan serta kontrol Tuhan Yesus. Bagaimana dengan gereja Tuhan yang kita layani? Apakah Yesus benar-benar menjadi kepala dalam hidup dan pelayanan jemaat?
Itulah sebabnya kita perlu mendiskusikan apa yang Alkitab
katakan mengenai kepemimpinan gereja (pemerintahan gereja), terutama berkenaan dengan
siapa yang mengontrol gereja, serta apa implikasi dan aplikasinya bagi pelayanan kita
masing-masing. Tentu ini tak mudah, apalagi jika selama ini pemikiran kita tentang “the
real leader of church” telah keliru. Meski tak mudah, tapi karena hal ini
adalah kebenaran mutlak yang harus kita terima, maka marilah kita membuka
pikiran kita terhadap pelayanan kita masing-masing dan terhadap Alkitab yang adalah
Firman Allah.
TUHAN YESUS ADALAH KEPALA
GEREJA
Kita mengenal beberapa model kepemimpinan gereja, seperti Episkopal, Presbiterian, dan Kongregasional. Namun demikian, semuanya tunduk pada otoritas Kristus sebagai kepala gereja. Hal ini berarti kita tidak bisa mengatakan bahwa gereja yang kita layani adalah “gereja saya.” Harus diakui bahwa kita seringkali menyebut gereja dengan nama gembala jemaatnya, seperti contoh: “Apakah saudara kebaktian di gerejanya Pdt. A?” Pertanyaan tersebut dilemparkan dengan pemahaman bahwa gereja yang dimaksud adalah milik Pdt. A! Seperti itulah pemahaman yang beredar pada umumnya. Tentu yang sebenarnya adalah gereja tidak pernah menjadi milik gembala jemaat (pendeta) atau pun milik jemaat, sebab gereja adalah milik Tuhan kita Yesus Kristus, gereja ada di bawah kepemimpinan-Nya!
Karena gereja adalah milik Tuhan kita Yesus Kristus, maka fungsi utama kepemimpinan gereja adalah membiarkan Kristus menjalankan kepemimpinan-Nya di gereja-Nya. Itu berarti gereja bukanlah demokrasi murni di mana setiap anggota jemaat memiliki suara untuk menentukan bagaimana gereja harus hidup dan melayani. Kata "hak pilih" ketika menyangkut kepemimpinan gereja, akan membuat gereja terlibat dalam politik, seperti politik di negeri ini. Sebagai warga negara Indonesia, kita pergi ke kotak suara untuk menyatakan pendapat (hak pilih). Itu baik untuk pemerintahan negara kita, tapi bukan cara gereja! Sebab pertanyaan kunci mengenai masalah apa pun di dalam gereja bukanlah, "Apa yang dipikirkan jemaat?" Melainkan, "Apa yang dipikirkan Kristus mengenai gereja-Nya?"
Pikiran Kristus diberikan kepada kita di dalam Firman-Nya. Kita mungkin berbeda mengenai bagaimana menafsirkan atau menerapkan Firman pada situasi tertentu. Tapi kita semua harus menempatkan diri kita di bawah otoritas Tuhan Yesus Kristus sebagai otoritas tertinggi kita. Dengan membiarkan Kristus menjalankan kepemimpinan-Nya atas gereja-Nya menghasilkan cara yang sama sekali berbeda dalam menjalankan fungsi dan tugas gereja. Jika kita memandang gereja sebagai organisasi demokratis di mana setiap anggota memiliki suara, maka kita terjebak ke dalam politik gereja. Kita akan memaksakan kehendak kita dalam kehidupan dan pelayanan gereja. Tetapi jika kita hidup setiap hari dalam penyerahan diri kepada Tuhan dengan berusaha menaati firman-Nya, maka ketika melaksanakan fungsi dan tugas gereja, kita akan menyangkal diri dan dengan hormat mencari apa yang Tuhan kehendaki atas gereja-Nya. Itu hal yang sama sekali berbeda dengan politik gereja!
KEPEMIMPINAN KRISTUS ATAS GEREJA MELALUI PEMIMPIN
ROHANI YANG DEWASA
Di gereja-gereja pertama yang
didirikan oleh rasul Paulus dan Barnabas, setelah mereka melakukan pelayanan mereka,
kita membaca, "Di tiap-tiap jemaat
rasul-rasul itu menetapkan penatua-penatua bagi jemaat itu dan setelah berdoa
dan berpuasa, mereka menyerahkan penatua-penatua itu kepada Tuhan, yang adalah
sumber kepercayaan mereka" (Kis. 14:23). Kemudian, Paulus menulis kepada Timotius dan
Titus tentang kualifikasi untuk menunjuk para penatua (1Tim. 3: 1-7; Tit. 1: 5-7 ) dan
diaken (1Tim.
3: 8-13), yang terlibat dalam pelayanan gereja. Saat ini kita memang tidak memiliki
rasul-rasul untuk menunjuk para
pemimpin gereja/gembala jemaat, namun kita dapat mengikuti pedoman yang
diilhami oleh Roh Kudus yang tercantum dalam dua surat pastoral tersebut.
Perhatikan bahwa dalam
petunjuk-petunjuknya kepada Timotius dan Titus dalam memilih para penatua,
Paulus menasihatkan agar mereka “mengenali” pemimpin yang dewasa rohani, bukan “memilih” mereka. Ada perbedaan penting
antara mengenali dan memilih para pemimpin rohani! Kita memilih seorang
pemimpin mungkin karena kita menyukai mereka secara pribadi, atau karena
pemikirannya sama dengan pemikiran kita dan kita ingin mereka menerapkan pemikiran kita di gereja. Seperti juga voting atau
pemilihan
umum
di panggung politik Indonesia yang sering menjadi masalah kesukaan pribadi. Tapi masalah
kepemimpinan gereja bukanlah apa yang kita sukai, melainkan, "Apakah
mereka memiliki kualifikasi yang ditetapkan dalam Alkitab untuk menjadi
pemimpin gereja?"
Tentu saja, tidak ada orang
yang memenuhi semua kualifikasi dengan sempurna. Semua orang punya kekurangan.
Namun para
pemimpin gereja seharusnya tidak terang-terangan melanggar kualifikasi apa pun
dan dia harus memenuhi
kualifikasi yang telah ditetapkan Tuhan tersebut. Sebab gereja bertanggung jawab atas keadaan pemimpin
mereka, baik secara moral maupun doktrinal. Jika seorang pemimpin bertindak
bertentangan secara moral dengan Alkitab atau mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan Alkitab, maka gereja perlu menerapkan
prosedur disiplin rohani yang diajarkan Tuhan Yesus. Gereja harus berbicara
kepada orang tersebut, pertama secara pribadi, lalu dengan satu atau dua orang saksi lainnya. Jika masih belum
ada perubahan, mereka harus pergi kepada pemimpin senior dalam gereja. Jika masih tidak ada
pertobatan, harus disampaikan kepada seluruh gereja (Mat. 18:
15-17).
Prosedur tersebut menyiratkan
bahwa anggota gereja bertanggung jawab untuk mengetahui pengajaran Alkitab
dengan baik sehingga mereka dapat menemukan jika seandainya terjadi
penyimpangan kebenaran, baik secara moral maupun doktrinal. Anggota gereja seharusnya peduli jika
kelemahan moral atau kesalahan doktrin merembes ke dalam gereja. Sepanjang
pemimpin menaati Tuhan, maka mereka harus dipatuhi (Ibr. 13:17). Tapi mereka
tidak memiliki wewenang otokratis untuk menguasai gereja. Sebaliknya, mereka harus
menjadi contoh bagi seluruh anggota gereja (1Pet. 5:3).
2)
Pemimpin Gereja Haruslah Seseorang yang Dewasa Rohani.
Keharusan bahwa pemimpin gereja
adalah seseorang yang dewasa rohani ditunjukkan oleh kualifikasi pelayanan ini
dan juga oleh istilah yang digunakan dalam Alkitab untuk menggambarkan pelayanan
ini.
Istilah “Penatua" tidak menunjuk pada kedewasaan umur, tetapi kualifikasi
rohani. Alkitab tidak memberikan persyaratan umur untuk bisa menjadi penatua sehingga
umurnya bisa bervariasi tergantung pada keadaan jemaat. Ketika Paulus menasihati
Timotius agar tidak dipandang rendah karena umurnya yang masih muda (1Tim. 4:12), Timotius mungkin
masih berumur dua puluhan sampai tiga puluh tahun. Paulus terus menasihati
Timotius untuk menjadi teladan bagi gereja "dalam perkataan, tingkah laku, kasih, iman, dan
kesucian." Jadi kesimpulannya bahwa pemimpin rohani tidak bicara masalah
umur, tapi kedewasaan rohani. Pemimpin rohani harus dewasa rohani.
Istilah "Penilik" atau
“overseer” digunakan secara bergantian dengan "penatua" (Tit. 1: 5-7;
Kis. 20:17-28). Sebutan “Penilik” ini mengacu pada sifat pekerjaan yaitu: mereka
mengawasi, mengamati, atau menjaga gereja setempat. Seorang pengawas harus
cukup dewasa secara rohani untuk memahami bahaya rohani dan untuk menjaga dan
membimbing domba-dombanya ke dalam pertumbuhan rohani.
Istilah ketiga, “gembala” atau pastor
dalam bentuk kata benda hanya digunakan satu kali untuk para pemimpin gereja
(Ef. 4:11). Sedangkan dalam bentuk kata kerja digunakan beberapa kali (Yoh. 21:16;
Kis. 20:28; 1Pet. 5:2). Istilah tersebut berasal dari analogi seorang gembala dan
dombanya. Yesus disebut Gembala dan Penjaga (Pengawas) jiwa kita (1Pet. 2:24).
Dia adalah "Gembala Agung"; dan gembala jemaat melayani di bawah Gembala
Agung, serta akan memberikan pertanggungjawaban kepada-Nya (1Pet. 5: 4; Ibr.
13:17).
3)
Pemimpin Gereja Bukanlah “Single
Fighter.”
Istilah penatua selalu digunakan dalam bentuk
jamak berkenaan dengan satu gereja lokal (Kis. 14:23; 20:17; Flp. 1:1; Tit. 1:
5) sehingga dalam gereja mula-mula ada beberapa penatua dalam gereja lokal.
Mungkin saja salah satu penatua memiliki tugas sebagai penilik terhadap
satu gereja
rumah. Mungkin juga seorang penatua lain, terutama yang bertugas untuk berkhotbah (1Tim.
5:17-18) akan dipandang sebagai pemimpin di antara para penatua. Contohnya seperti Petrus yang memimpin di antara para
rasul dan seperti Yakobus yang memimpin di antara para penatua di Yerusalem
(Kis. 15:2-21; 21:18; Gal. 2:9). Jadi gereja di sebuah kota dipandang sebagai
sebuah unit yang memiliki beberapa penatua.
“Jikalau tidak ada pimpinan, jatuhlah
bangsa, tetapi jikalau penasihat banyak, keselamatan ada”(Ams. 11:14). Berdasarkan nas ini, maka
adalah
berhikmat kalau
pemimpin membagikan tanggung jawab dan otoritas di gereja, sehingga tidak ada
orang yang akan mendominasi tanpa pertanggung jawaban. Satu-satunya pemimpin gereja Perjanjian Baru yang arogan adalah Diotrefes, yang "ingin menjadi
terkemuka"
sehingga ia menjalankan otoritas satu orang serta menolak yang lain (3Yoh. 9-10). Padahal biasanya,
para penatua harus mencapai kesepakatan bersama dalam mengambil keputusan besar.
Memang tidak ada petunjuk dalam
Perjanjian Baru mengenai jumlah penatua di setiap gereja. Tetapi biasanya
tergantung pada seberapa banyak jumlah orang yang memenuhi syarat dan kebutuhan
untuk penggembalaan di gereja. Semakin besar gereja, semakin banyak pemimpin
yang akan dibutuhkan. Dengan demikian, prinsip dasar kepemimpinan gereja bahwa
Kristus adalah Kepala jemaat, benar-benar diterapkan. Dia menjalankan kepemimpinan-Nya melalui
para
pemimpin
yang diakui oleh
gereja dan dewasa secara rohani.
4)
Tugas Utama Pemimpin Gereja
adalah Memimpin Melalui Teladan dan Pengajaran Firman Allah.
4a. Memimpin dengan Keteladanan dan Kehidupan Pelayanan
yang Saleh.
1Petrus 5:1-3: "Aku menasihatkan para penatua di antara kamu, aku sebagai teman penatua dan saksi penderitaan Kristus, yang juga akan mendapat bagian dalam kemuliaan yang akan dinyatakan kelak. Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu."
Tuhan Yesus adalah teladan bagaimana melayani. Dimana pada malam Dia dikhianati, Dia membasuh kaki para murid, dan menginstruksikan mereka agar pemimpin di antara mereka harus menjadi pelayan (Yoh. 13:1-17; Luk. 22:24-27). Sebagai pemimpin, kita harus menjadi pelayan yang saleh, meneladani kepemimpinan dari Gembala Agung kita.
4b. Mengajarkan Firman Tuhan dengan Setia.
Satu-satunya kualifikasi non-karakter
untuk para pemimpin gereja adalah bahwa mereka cakap mengajar (1Tim. 3:2). Ini
tidak selalu mengharuskan seorang pemimpin dapat berkhotbah atau mengajarkan Firman Allah dalam sebuah kelompok persekutuan yang besar saja. Tapi dia harus bisa
duduk dengan orang yang lebih muda dan menjelaskan hal-hal tentang Tuhan dari
Alkitab. Titus 1:9 menetapkan bahwa seorang penatua harus "berpegang kepada perkataan yang benar, yang sesuai
dengan ajaran yang sehat, supaya ia sanggup menasihati orang berdasarkan ajaran
itu dan sanggup meyakinkan penentang-penentangnya." Pengajaran Firman Allah dipandang sebagai prioritas sebab Firman Allah adalah
satu-satunya standar kita untuk iman dan perilaku, sehingga gembala jemaat
harus didukung oleh gereja agar mereka dapat "bekerja keras dalam
berkhotbah dan mengajar" (1Tim. 5:17; lih. Kis. 6:4).
Tugas penggembalaan juga meliputi tugas administrasi dan keuangan
gereja. Tetapi tugas utama gembala jemaat adalah menggembalakan kawanan domba
Allah (Kis. 20:28; 1Pet. 5:2), dan bersama dengan pemimpin gereja yang lain,
gembala jemaat melakukan pekerjaan pelayanan itu. Dalam melayani jemaat, gembala jemaat mengenal mereka; memimpin
mereka; memberi makan mereka; dan membimbing mereka ke padang rumput yang kaya
dengan Firman Allah (Maz. 23; Yoh. 10:3-14; 1Tes. 5:12; 2Tim. 4:1-5; Tit. 1:9; Tit.
13:7).
Gembala jemaat juga menjaga mereka
dari serigala (Yoh. 10:12; Kis. 20:29-30); mencari domba-domba yang tersesat
dan membantu menyembuhkan luka-luka mereka dengan membantu mengembalikan mereka
kepada Tuhan (Yoh. 10:16; Yeh. 34:4-5); mengoreksi kesalahan atau pemberontakan
(2Tim. 4:2); dan melengkapi kawanan domba untuk pelayanan sehingga mereka dapat
melayani Tuhan dengan karunia pelayanan yang telah Tuhan berikan kepada mereka
(Ef. 4:11-16).
KUALIFIKASI PEMIMPIN GEREJA
(TIT. 1:5-9, 1TIM. 3:1-7)
1)
Memiliki Integritas Rohani
Ciri pemimpin yang memiliki integritas rohani ialah: hidupnya tidak tercela. Dia tidak menjalani kehidupan ganda, contohnya memiliki dosa rahasia yang orang lain tidak tahu. Dia menilai dosa-dosanya di dalam hati, di mana Tuhan melihat, bukan hanya dosa-dosa lahiriah yang dilihat orang lain. Jika dia berbuat dosa (dan kita semua melakukannya), dia cepat mengakui dan minta pengampunan. Sikapnya saat berada di gereja tidak berbeda dengan saat berada di rumah. Istrinya dan anak-anaknya akan menegaskan bahwa kepala keluarga mereka telah menyatakan buah Roh di rumah mereka.
Kedewasaan rohani memang membutuhkan
waktu, usaha, dan disiplin sebab mencapai kedewasaan rohani itu tidak mudah!
Tidak ada jalan pintas atau pengalaman ajaib yang mengangkat seseorang kepada
kedewasaan rohani. Paulus mengatakan kepada Timotius (1Tim. 4:7), "... Latihlah dirimu beribadah." Ini adalah sebuah
metafora atletik, yang menggambarkan seorang atlit yang ada dalam pelatihan demi
sebuah perlombaan. Tidak ada jalan pintas. Tiap hari dia harus memperhatikan
apa yang dia makan dan menghabiskan waktu berlatih sehingga dia bisa tampil dengan
kondisi terbaik untuk acara tersebut. Dia tidak merasakan susah payahnya, tapi
dia memikirkan tujuannya dan melawan perasaan
lelahnya serta keinginan dagingnya yang ingin bermalas-malasan.
Begitulah sikap yang harus kita teladani dalam menghadapi perlombaan iman. Fokus
untuk mencapai tujuan, yakni memiliki kehidupan yang saleh dan memuliakan Tuhan
yang telah mengasihi dan menyelamatkan kita.
Semua orang Kristen harus bertumbuh ke arah kedewasaan rohani. Terutama jika
seorang menginginkan jabatan pemimpin gereja di masa depan, dia perlu mendisiplinkan dirinya untuk
kebaikan sekarang. Dia harus berusaha agar tidak tercela di sekolah, di tempat
kerja, di rumah, dan di dalam semua aspek hubungannya. Integritas butuh waktu,
usaha, dan disiplin.
2)
Memiliki Kedewasaan Rohani yang Terlihat dalam Kehidupan Rumah Tangganya.
“Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya
sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah?” (1Tim. 3:5). Jadi jika seseorang
memiliki catatan buruk di dalam rumah tangganya, jangan promosikan dia untuk memimpin gereja!
2a. Suami dari Satu Istri.
Ada beberapa penafsiran dari
pernyataan tersebut, tetapi saya mau menekankan bahwa seorang pemimpin jemaat hanya mengasihi satu
wanita yakni istrinya dan mencurahkan perhatian pada istrinya, baik dalam
tindakannya maupun batin atau pikirannya. Kehidupan pikirannya berada di bawah
kendali Roh Kudus, sehingga ia tidak diperbudak oleh nafsu dan pornografi. Ia harus
memiliki rekam jejak yang baik, tidak tercela dalam kesucian mental dan moral.
Ini bisa berarti bahwa walaupun seorang pria
telah menikah puluhan tahun dan belum pernah bercerai, tapi bila memiliki pikiran penuh nafsu, harus
didiskualifikasi dari menjadi pemimpin jemaat. Sebaliknya meskipun seseorang
tidak menikah, tapi selama dia suci
secara moral, termasuk kehidupan pikirannya, maka ia dapat menjadi pemimpin
jemaat (lihat 1Kor. 7:1-9).
2b. Memiliki
Anak-anak yang Percaya dan Bukan Pemberontak.
Titus 1: 6: "...yang anak-anaknya
hidup beriman dan tidak dapat dituduh karena hidup tidak senonoh atau hidup
tidak tertib." Dan dalam 1Timotius 3:4, syaratnya adalah, "seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan
dihormati oleh anak-anaknya." Ini tidak berarti bahwa pemimpin gereja harus memiliki anak,
tapi jika memiliki anak-anak, mereka harus berada di bawah kendalinya.
Bagaimana hubungan pemimpin
gereja dengan anak-anak mereka? Mereka harus mendidik anak-anak mereka
dalam ajaran dan nasihat Tuhan dengan baik, serta menjadi teladan yang baik bagi
anak-anak mereka. Jika
tidak demikian, maka pemimpin gereja itu harus didiskualifikasi. Namun demikian, juga perlu diperhatikan bahwa
tidak
berarti anak-anak pemimpin gereja akan selalu menjadi contoh yang sempurna dalam ketaatan. Anak-anak adalah
anak-anak! Anak-anak dari keluarga yang saleh seringkali tidak menaati orang
tua mereka dan menimbulkan kemarahan orangtua. Seorang pemimpin gereja yang dewasa secara rohani akan memperbaiki dan melatih anak-anak mereka untuk mematuhi dan
menghormati otoritas.
Paulus mengatakan bahwa seorang
penatua harus "seorang kepala keluarga yang baik" (1Tim. 3: 4), Berarti itu mencakup semua
aspek kehidupan rumah tangga, termasuk keuangan. Poin Paulus secara keseluruhan
jelas: seorang pemimpin jemaat harus menjadi suami dan ayah yang saleh. Jika kehidupan rumahnya tidak
teratur, jangan menjadi pengatur keluarga Tuhan, sebab bagaimana mengatur keluarga yang lebih
besar jika mengatur keluarganya sendiri tidak bisa? (Tit. 1: 7).
Karakter yang tidak boleh dimiliki oleh pemimpin
gereja yakni: peminum, pemarah, pemberang, hamba uang, dan angkuh. Intinya, pemimpin gereja tidak boleh memiliki
karakter yg cacat. Sedangkan karakter
yang harus dimiliki antara lain: sopan, suka memberi
tumpangan, suka akan yang baik, bijaksana, adil, saleh, dan dapat menguasai diri.
2d. Dewasa Secara
Rohani Seperti Yang Terlihat dalam Ketaatannya
pada Alkitab (Tit. 1:9).
Seorang penatua harus berpegang kepada perkataan yang benar, yang sesuai
dengan ajaran yang sehat.
Makna "berpegang pada perkataan yang benar," artinya mengabdikan diri
kepada Firman Tuhan. Untuk melakukan ini, kita harus memahami Firman Tuhan,
yang berarti kita juga harus mempelajarinya. Ini adalah usaha seumur hidup.
"Berpegang" artinya memiliki keyakinan yang Alkitabiah. Pemimpin
gereja memegang teguh Injil dan kebenaran esensial yang berkaitan dengan Injil.
Ia tidak mengubah pandangannya berdasarkan tren-tren terbaru. Standar
moralitasnya berasal dari Alkitab, bukan dari budaya yang tak beriman. Ia tidak menyukai kontroversi,
tapi juga tidak menghindarinya bila perlu.
Seorang penatua harus sanggup menasihati
orang berdasarkan ajaran yang sehat. Doktrin yang tidak sehat merusak orang. Pada saat
ini, banyak orang Kristen memandang doktrin sebagai hal yang memecahbelah atau
tidak relevan dengan kehidupan. Namun, pola normal Paulus dalam surat-suratnya
adalah menyusun doktrin terlebih dahulu sebelum beralih ke aspek praktisnya. Padahal
Paulus tidak menulis surat-suratnya kepada siswa Sekolah Alkitab atau teolog, tapi untuk
orang awam, dan banyak di antaranya adalah budak. Jadi anggota jemaat juga
perlu dinasihati dengan doktrin yang sehat. Kata "menasihati" dalam Titus 1:9
ini berarti mendesak seseorang untuk mematuhi dan berubah, atau untuk mendorong atau
menghibur, sesuai dengan kebutuhan.
Pemimpin gereja juga harus sanggup meyakinkan para penentangnya, yakni orang yang mengajarkan ajaran sesat. Sebab
musuh selalu menyusup ke gereja dengan ajaran sesat sehingga pemimpin gereja harus
berani menghadapinya. Kita tidak boleh menyerang, tapi bersikap baik dan sopan
dalam menolak berkompromi dengan ajaran sesat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar